PANDUAN FIQIH PUASA RAMADHAN
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0MUcVM2AD5pkDgcZOK2wVvHmdJezqQWfHJ2wXi7OrdNfg6mXAHa45gfkcWxNYbN25b3VboD8MFEktoa1TvoSKzvNZRVOBnkB-z8lAlUO4RpOqq6x3Rb8TKVUFCzziE02E3kNFD4DuJLM/s72-c/hikmah-puasa.jpg
Hukumnya
Alloh Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa.” (QS. Al Baqoroh: 183)
Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya puasa Romadhon dan
merupakan salah satu rukun Islam yang dapat diketahui dengan pasti
merupakan bagian dari agama. Barang siapa yang mengingkari kewajiban
puasa Romadhon maka dia kafir, keluar dari Islam.
Keutamaannya
“Orang yang berpuasa di bulan Romadhon karena iman dan mengharap pahala dari Alloh maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman dalam hadits Qudsi, “Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi
Alloh pada hari kiamat daripada bau misk/kasturi. Dan bagi orang yang
berpuasa ada dua kegembiraan, ketika berbuka mereka bergembira dengan
bukanya dan ketika bertemu Alloh mereka bergembira karena puasanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Royyaan.
Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk surga melalui pintu
tersebut dan tidak masuk melalui pintu tersebut seorang pun kecuali
mereka. Dikatakan kepada mereka, ‘Di mana orang-orang yang berpuasa?’
Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak masuk melalui pintu
tersebut seorang pun kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu
tersebut ditutup dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu
tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kewajiban Berpuasa Romadhon Dengan Melihat Hilal
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah
karena melihat hilal Romadhon, berhari raya-lah karena melihat hilal
Syawwal. Jika hilal tertutupi mendung maka genapkanlah bulan Sya’ban
menjadi 30 hari.” (Muttafaqun ‘alaih. Lafazh Muslim)
Dengan Apa Bulan Romadhon Ditetapkan ?
Bulan Romadhon ditetapkan dengan melihat hilal meskipun dari satu
orang yang sholih atau dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30
hari. Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu berkata, “Banyak orang
berusaha melihat hilal. Kemudian aku mengabarkan kepada Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa aku sungguh-sungguh melihatnya.
Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.” (Shohih. Al Irwa’)
Jika hilal tidak dapat dilihat karena mendung atau sejenisnya maka
bulan Romadhon ditetapkan dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30
hari. Untuk awal bulan Syawwal tidak boleh ditetapkan kecuali dengan
persaksian dua orang. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ada 2 orang muslim bersaksi, maka berpuasalah dan berhari raya-lah kalian.” (Shohih. Shahih Ibnu Majah)
Catatan:
Barang siapa yang melihat hilal seorang diri maka tidak boleh
berpuasa sampai masyarakat berpuasa, dan tidak boleh berhari raya sampai
masyarakat berhari raya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa
adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Berhari raya adalah hari di
mana kalian semua berhari raya. Dan berkurban adalah hari di mana kalian
semua berkurban.” (Shohih. Shahih Al-Jami’ Ash-Shoghir. At Tirmidzi berkata, “Sebagian
ahlul ‘ilmi menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, ‘Maknanya bahwa
puasa dan hari raya adalah bersama jama’ah [pemerintah kaum muslimin,
pent] dan mayoritas manusia [masyarakat, pent].’”)
Siapa yang Diwajibkan Berpuasa ?
Ulama bersepakat bahwa puasa diwajibkan atas orang Islam, berakal,
sudah baligh, sehat dan tidak sedang bepergian. Bagi wanita harus tidak
dalam keadaan haid dan nifas. (Fiqh Sunnah). Jika ada orang sakit dan musafir tetap berpuasa, maka puasanya sah. Karena bolehnya berbuka bagi keduanya adalah keringanan/rukhshoh, maka jika keduanya tidak mengambil rukhsokh-nya maka itu juga hal yang baik.
Mana yang Lebih Utama, Berbuka atau Berpuasa ?
Jika orang sakit dan musafir tidak menemukan kesulitan untuk
berpuasa, maka berpuasa lebih utama. Namun jika keduanya menemukan
kesulitan untuk berpuasa, maka berbuka lebih utama.
Abu Sa’id Al-Khudzri rodhiallohu ‘anhu berkata, “Kami dulu berperang bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
di bulan Romadhon. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak
berpuasa. Orang yang berpuasa tidak memarahi orang yang tidak berpuasa
begitu pula sebaliknya. Kami berpendapat bahwa barang siapa yang merasa
mampu kemudian berpuasa maka hal itu baik. Dan kami juga berpendapat
bahwa barang siapa yang merasa lemah kemudian tidak berpuasa maka hal
itu juga baik.” (Shohih. Shohih Tirmidzi)
Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa bagi wanita yang sedang haid dan nifas adalah karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah jika wanita sedang haid tidak boleh sholat dan berpuasa? Maka itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhori)
Jika wanita yang sedang haid dan nifas berpuasa, maka puasanya tidak
sah. Karena suci dari haid dan nifas termasuk salah satu syarat puasa
sehingga wajib bagi keduanya untuk meng-qodho’ puasanya. ‘Aisyah rodhiallohu ‘anha berkata, “Dulu
kami mengalami haid di masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Maka kami diperintahkan untuk meng-qodho’ puasa dan tidak diperintahkan
untuk meng-qodho’ sholat.” (Shohih. Shohih Tirmidzi)
Kewajiban Bagi Laki-Laki dan Wanita yang Sudah Tua Serta Orang Sakit yang Tidak Dapat Diharapkan Lagi Kesembuhannya
Bagi yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua atau sejenisnya maka
boleh untuk berbuka dengan memberi makan bagi orang miskin setiap hari
yang dia tidak berpuasa karena firman Alloh Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin.” (QS. Al Baqoroh: 184)
Wanita Hamil dan Menyusui
Jika wanita hamil dan menyusui tidak mampu berpuasa atau khawatir
terhadap anaknya jika berpuasa, maka boleh bagi keduanya untuk berbuka.
Dan wajib bagi keduanya untuk membayar fidyah namun tidak ada kewajiban qodho’ bagi keduanya.
Ukuran Makanan yang Wajib Diberikan
Dari Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu, “Sesungguhnya dia
tidak mampu untuk berpuasa Ramadhan pada suatu tahun. Kemudian dia
membuat roti dalam satu piring besar dan memanggil 30 orang miskin dan
membuat mereka semua kenyang.” (Sanadnya Shohih. Al Irwa’)
Rukun-Rukun Puasa
Pertama, Niat. Karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Niat harus dilakukan setiap malam sebelum terbit fajar karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak niat berpuasa sebelum fajar terbit maka puasanya tidak sah’.” (Shohih, Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghir)
Kedua, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.
Alloh Ta’ala berfirman,
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ
وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah
ditetapkan Alloh untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqoroh: 187)
Hal-Hal yang Membatalkan Puasa Ada Enam Perkara
Pertama dan Kedua, makan dan minum dengan sengaja. Jika seseorang makan atau minum dalam keadaan lupa maka tidak ada qodho’ baginya dan juga tidak membayar kaffaroh/denda.
Ketiga, muntah dengan sengaja. Jika muntah dengan tidak sengaja maka tidak ada kewajiban qodho’ dan tidak perlu membayar kafaroh.
Keempat dan Kelima, haid dan nifas meskipun menjelang berbuka puasa mengingat adanya kesepakatan ulama tentang hal tersebut.
Keenam, hubungan suami istri. Orang yang melakukannya wajib untuk membayar kaffaroh:
Memerdekakan budak jika punya, jika tidak maka berpuasa dua bulan
berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin.
(Muttafaqun ‘alaih)
Adab-Adab Puasa
Dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk memperhatikan adab-adab berikut ini:
Pertama, makan sahur. Dianjurkan pula untuk mengakhirkan makan sahur.
Dari Anas rodhiallohu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu berkata, “Kami makan sahur bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian melaksanakan sholat.” Aku (Anas) berkata, “Berapa lama antara iqomah dan makan sahur?” Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu berkata, “Jangka waktu untuk membaca Al Quran 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Jika azan terdengar sedangkan makanan dan minuman masih berada di tangan, maka boleh untuk meneruskan makan dan minum.
Kedua, menahan diri dari kata-kata sia-sia dan kotor/menjijikkan dan sejenisnya yang bertentangan dengan puasa.
Ketiga, dermawan dan mempelajari Al Quran.
Keempat, menyegerakan berbuka puasa.
Kelima, berbuka puasa secara sederhana dengan hal-hal yang disebutkan dalam hadits berikut.
“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan kurma
basah sebelum sholat. Jika tidak ada kurma basah maka beliau berbuka
dengan kurma kering. Jika tidak ada kurma kering maka beliau minum
beberapa teguk air.” (Hasan Shohih. HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Keenam, berdoa pada saat berbuka sesuai dengan hadits berikut.
“Apabila Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berbuka beliau
berdoa yang artinya, ‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah,
pahala telah ditetapkan, Insyaa Alloh.’” (Hasan. Shohih Sunan Abu Daud)
Hal-Hal yang Diperbolehkan Ketika Berpuasa
Pertama, mandi untuk menyegarkan badan.
Kedua, berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung namun tidak berlebihan.
Ketiga, berbekam. Hukumnya berubah menjadi makruh jika
khawatir dirinya menjadi lemah. Yang dihukumi sama dengan bekam adalah
donor darah. Jika orang yang ingin mendonorkan darahnya merasa khawatir
menjadi lemas maka tidak boleh mendonorkan darah ketika siang hari
kecuali sangat dibutuhkan.
Keempat, mencium dan bercumbu dengan istri bagi yang mampu menahan dirinya.
Kelima, dalam keadaan junub ketika sudah terbit fajar.
Keenam, menyatukan sahur dan berbuka.
Ketujuh, menggosok gigi, memakai minyak wangi, minyak rambut, celak mata, obat tetes mata dan suntik.
Dasar dibolehkannya perkara-perkara tersebut adalah kaidah baroo’ah ashliyyah
(seseorang terbebas dari suatu hukum sampai ada dalil, pent) Seandainya
perkara-perkara itu termasuk perkara yang diharamkan ketika berpuasa
niscaya Alloh dan Rosul-Nya akan menjelaskannya.
Alloh berfirman,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيّاً
“Dan tidaklah Robb kalian itu lupa.” (QS. Maryam: 64)
I’tikaf
I’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Romadhon adalah sunnah yang
sangat dianjurkan untuk mencari kebaikan dan mencari malam Lailatul
Qodar.
‘Aisyah berkata, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
beri’tikaf di sepuluh hari terakhir pada bulan Romadhon. Beliau
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Carilah malam Lailatul Qodar
di sepuluh hari terakhir bulan Romadhon.’” (HR. Bukhori). ‘Aisyah juga
berkata, “Carilah malam Lailatul Qodar pada malam ganjil di sepuluh hari
terakhir bulan Romadhon.” (Muttafaq ‘alaih)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga mendorong dan memotivasi umatnya untuk mencarinya. Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang
siapa yang melaksanakan sholat pada malam Qodar karena keimanan dan
mengharap pahala dari Alloh, maka dosanya yang telah lalu pasti
diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih)
I’tikaf tidak boleh dilakukan kecuali di dalam masjid karena firman Alloh Ta’ala,
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, pada saat kamu ber-i’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al Baqoroh: 187)
Dan juga karena masjid adalah tempat Nabi bert-i’tikaf.
Dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya
dengan amal ketaatan kepada Alloh seperti sholat; membaca Al Quran;
berzikir, sholawat kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam; dan sebagainya.
Dimakruhkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan dirinya
dengan perkataan atau perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Sebagaimana
dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara karena menyangka bahwa hal
tersebut mendekatkan diri kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. (Fiqh Sunnah).
Dan diperbolehkan untuk keluar dari tempat beri’tikaf karena ada
kebutuhan yang harus dilaksanakan. Sebagaimana diperbolehkan juga untuk
menyisir rambut, mencukur rambut kepala, memotong kuku dan membersihkan
badan. I’tikaf batal apabila seseorang keluar tanpa ada keperluan atau
berhubungan suami istri. Alhamdulillaahilladzii bi ni’matihi tatimmush shoolihaat.
(Diringkas dari kitab Al Wajiiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitaabil
‘Aziiz Kitab Shiyaam, karya Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi Al Kholafi
hafizhohullohu)
+ komentar + 1 komentar
Makasih infonya dan Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT.
Posting Komentar
Terima kasih ... coment santunnya...
mau pesan Desain, program pembelajaran, penilaian
dll sms 085725507688 !!